Melihat pendidikan dari jauh
SakuLani:Derita Guru part III ||Melihat pendidikan dari jauh
Sewaktu menempuh pendidikan di tanah rantau, saya pekah membedakan situasi seperti kemacetan yang diakibatkan oleh orang tua murid yang jemput anak-anak di sekolah. Karena di kota, jadi antar jemput anak adalah tanggung jawab orang setiap harinya. Anak anak dapat kehangatan dan keterlibatan orang secara langsung di jalan pendidikan mereka.
Walaupun demikian, anak anak juga dapat manca maksudnya ketergantungan pada orang tua mereka sehingga, mereka kehilangan kesempatan untuk berjuang mandiri. Sementara situasi di tanah kelahiran ku berbeda. Anak anak mandiri dari rumah ke sekolah, setelah tiba, teryata belum ada guru. Guru tidak masuk mengajar karena honor belum dibayarkan. Guru tidak peka di sekolah karena belum ada tempat maksudnya perumahan guru. Ditambah dengan kepala sekolah yang jarang Taru muka di sekolah dan tidak transparan dengan para guru. Belum lagi masalah jarang, transportasi dll.
Pengamatan saya tetangga kontrakan selalu sediakan waktu untuk mengecek tugas anak anak dan belajar bersama orang Tua. Ketika melihat itu, saya iri dengan suasana itu. Lalu bagaimana dengan orang tua siswa yang tidak berpendidikan? Ini pertanyaan yang menyebak diri ku, tapi faktanya orang tua saya tidak sekolah tapi mampu sekolahkan saya. Situasi ini adalah paradox dari perjalanan hidup saya di perantauan.
Bagi masyarakat yang sudah maju secara pemikiran, mereka prioritaskan waktu belajar bersama anak-anak sama halnya dengan waktu bekerja. Beberapa perbedaan yang muncul ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak hal baik yang saya dapatkan sebagai bentuk pembelajaran studi banding. Sewaktu merantau.
Saya sama sekali tidak ragu untuk membagikan hal hal yang saya pelajari di luar dari materi di kampus.
Saya tidak salahkan siapapun atas situasi seperti ini. Saya salahkan diri sendiri, kenapa saya pekah membedakan situasi ini.
Hati terasa pilu sekali, seperti sehabis lari maraton tapi tidak minum air putih.
Adooo, sesekali melirik ke arah tanah air.
Air mata ku tumpah ruah tanpa ratapan.
Nada bicara ku terbantah bantah seperti seorang tertangkap dari pencurian.
Semua ini adalah saya melihat diri dari jauh. Papua adalah saya, maka mengabdi Papua adalah mengabdi diri sendiri.
Dalam keadaan, ada kerinduan dan harapan Kebulatan tekad untuk mengabdi mulai tumbuh di sanubari.
Kebulatan tekad itu dibungkus dalam Doa hati kecil ada perubahan kecil diukir di depan kelas.
Ucapan Doa yang paling tidak menerobos tembok tembok penghalang pendidikan adalah; Tidak mau mengeluh dengan keadaan, rela melakukan apapun demi generasi, menikmati dan mensyukuri.
Nyawa bertahan dalam kondisi apapun adalah Doa hati kecil tentang isi Doa.
Orang tua saya memang tidak sekolah, tapi mereka sanggup sekolahkan saya. Setidaknya saya berikan jalan supaya generasi harus lebih dari saya.
Sekali lagi,
Semua ini tentang
Melihat pendidikan
Dari jauh.
PenaYonda
📍 Papua pegunungan
Komentar