Langit cerah
Derita Guru part II || Langit cerah
Sinar matahari pagi menyusup di sela sela jerami menyinari ruangan di beberapa titik. Kedengaran deru udara dan angin bergantian keluar masuk Loteng melalui ventilasi udara di atas pintu Honai.
Cahaya yang masuk berlahan lahan membuat seisi ruangan di atas loteng terlihat lebih jelas. Seluruh dinding ruang loteng di lapisi Daun Dolingga warna coklat tua kehitaman.
Tampak sebuah tikar sobek sobekan terletak di dekat Tiru (Pilar) bagian kanan dari arah pintu. Ada tumpukan jerami yanengga alas tidur di honai mengelilingi empat pilar Honai.
Ruangan yang hangat memanjangkan penghuni merasa berada di pelukan bidadari penakluk dunia hati.
Tempat tidur beralaskan jerami bermotif alam senada dengan orang orang yang masih tergeletak tidur terlihat berantakan.
Sautan burung Ayungga menunjukkan pukul enam pagi. Suara batuk terdengar dari bawah loteng. Sesaat kemudian, pintu terbuka. Seseorang keluar sambil bilang “wolokwe Oo wegerak kagak wonogorak” kalian! Hari sudah siang.
Waktu memang masih pagi, tapi cahaya matahari membuat orang buru buru dalam beraktivitas.
Saya merangkap berlahan menuju tangga loteng. Kaki kiri mengenakan tangga ke satu, kaki kanan menyusul meletakan tangga ke tiga melewati tangga ke dua.
Sambil tangan ku menarik ujung selimut bercorak buah warna Oren berlatar biru langit, yang sudah dijadikan bantal kepala.
“Duk” bunyi selimut jatuh, mengikuti langkah ku menuju tunggu api. Saya kenakan celana yoger yang saya lepas sambari tidur. Lalu genggam ujung selimut keluar ke halaman. Jemur selimut sambil cari kutu beberapa menit.
“ wa…Wanimbokwe” saya bilang terima kasih dengan panggilan khas, karena ia memberikan ubi bakar untuk sarapan pagi.
Lalu saya menuju rumah sosial untuk gunakan kamar mandi, tidak jauh dari Honai. Rumah sosial itu belum di huni. Rencananya mau buka kios dan satu pintu untuk saya mengisi.
Kamar itu diberikan oleh sahabat Erminus Wenda. Kami berdua masih baku ikut dari kota studi pulau Jawa. Setelah Erminus mendengar, saya ditugaskan di sekolah berdekatan dengan rumahnya.
Erminus langsung bilang “pak guru, mengajar nanti tinggal bersama saya” Ia menyambut saya dengan welcome. Jadi sudah dua Minggu saya di tempat tugas.
Di kamar mandi, saya basa badan tra betul, lanjut jemur, arahkan badan belakang ke hadapan cahaya matahari yang pica bagus itu, langit cerah.
Lalu muncul Ade kison dari arah Honai, “Kison! Ada sabun di balog. Mandi sudah!” Saya menawarkan, Kison mengangguk sambil tersenyum tipis lalu menuju mandi.
Saya kembali ke teras rumah, sarapan ubi bakar yang wanimbokwe telah berikan. Sambil buang muka ke halaman sekolah. Beberapa siswa kenakan topi merah maron berlambang Tut Wuri Handayani, lalu lalang dengan kaki telanjang.
Saya masuk ke kamar, nyalakan senter handphone taruh dekat jendela. keluarkan celana Jogger hitam dari tas ransel dan ambil baju batik bermotif burung Cendrawasih berlatar hijau dari gantungan dekat pintu masuk. Tuangkan cucumber face toner pada telapak tangan, lalu bilas di muka, mendekati jendela lihat bayangan, hari ini ganteng paling maksimal. Pikir saya dalam hati.
Keluar dari pintu kamar, saya menyalurkan tangan untuk ambil kunci sekolah yang tergantung di depan kalender tahun lama. Lalu menuju ke sekolah, buka kunci kantor masuk kedalam, letakkan buku bacaan Novel karya Valleria Verawati dengan judul “Rahasia” di atas meja kerja.
Lalu keluar, menuju bangunan panggung berbahan kayu tiga pintu, buka kunci kelas.
Pas balik, Boca beringus kelas satu baru masuk sekolah, memegang tangan saya.
Saya melirik sambil tersenyum haru atas kepolosan dan kedekatannya. Sungguh saya merasa terhormat.
Setelah buka horden kuning berdebu, saya mau arahkan siswa untuk latihan baris berbaris, tapi kemudian, ada kenampakan kepsek mendekati halaman sekolah dengan mengenakan celana pendek warna hitam berbahan elit, senada dengan jaket warna hitam pula. “pagi cerah tiba tiba gelap”. Pikir saya tanpa suara.
“Halo bapa, selamat pagi” saya menyambutnya
“Pagi juga, anak! Bapa sakit beringus Skali” saya membaca rasa permohonan tersirat di wajah kepsek.
“Oo…benar bapa” saya meng-ia-kan.
“Bapa mau ke rumah sakit sebelah, jadi izin dulu ne anak” rumah sakit terletak kurang lebih 5 kg dari tempat kami berdiri.
“Baik bapa, saya mau latih PBB ke siswa” balas saya sambil mengangguk.
“Baik terimakasih anak”. Kepsek akhiri percakapan kami, sambil pergi ke arah rumah sakit.
Saya lanjutkan memimpin apel, melati siswa seperti hadap kiri hadap kanan. Satu langkah maju mundur hahah wk wk .. maksudnya satu langkah maju kiri dan kanan.
Sehabis itu, saya minta tolong kepada siswa kelas 5 & 6 kumpulkan kayu bakar. Lalu membagi untuk dua guru, kemudian antar ke rumah guru masing masing.
Sambil menunggu kelas 5 & 6 antar kayu bakar, kelas satu sampai kelas empat belajar mengingat Gambar di buku. Jadi caranya siswa dikelompokkan menjadi 5 group. Lalu diberikan buku bergambar pada masing-masing kelompok. Membiarkan Siswa mengekplorasi dalam beberapa waktu lalu giliran selanjutnya, setiap kelompok berdiri di depan kelas dan menyebutkan Gambar yang mereka sudah lihat tadi.
Hal ini dibudidayakan untuk menumbuhkan keberanian dan m
engucapkan informasi yang dikumpulkan melalui pembelajaran.
Komentar