MANUSIA PAPUA UMUR PENDEK DALAM SISTEM ANEKSASI INDONESIA
”Banyak Nakhoda Papua yang mati di tengah jalan sebelum tiba di dermaga tujuan”
“Apakah kematian mereka dikehendaki Tuhan?”
Penulis:
Raimon Tawane
Sejarah membuktikan isu politik Papua merupakan esensi dari
perbedaan ideologi, nilai, sistem budaya, warna kulit, rambut, letak geografis,
ras, bahasa, hak politik, pola berpikir, hak hidup, hak atas tanah, hutan,
mamalia dan fauna, yang melahirkan konflik dari masa ke masa sampai saat ini
dan akan berlanjut. Paradigma pembangunan manusia Papua dalam konteks Indonesia
adalah pemaksaan nasionalisme dengan berbagai cara yang halus, sistematis
bahkan kasar jika sewaktu-waktu Manusia Papua kontra dengan kebijakan
Indonesia. Dengan melihat konflik di Papua yang kontroversial pada pemerintahan
Indonesia yang dewasa ini perlu adanya kesadaran Indonesia yang lahir untuk
memaknai perbedaan sebagai indikator pengakuan kedaulatan politik dan
kebebasan. Pada situasi seperti ini kita bisa belajar dan memandang jauh ke
dalam terkait dengan salah satu pandang filsafat kemandirian berpikir. Konsep
yang sederhana dan singkat, kemandirian berpikir itu tidak memaksa seseorang
untuk hidup dan menuruti ideologi tertentu, melainkan harus diberikan kebebasan
untuk menilai dan menyikapi segala sesuatu secara kritis, rasional dan
sistematis dalam menentukan arah hidupnya. Jika dikaitkan dengan gagasan yang
luas dalam konteks aneksasi dan dominasi Papua ke Indonesia, maka pandangan ini
turut membantah aneksasi dan dominasi. Manusia Papua tidak diberikan kebebasan
yang murni dan tulus, yang ada hanyalah ambisi dan menentukan kebijakan
kesejahteran dengan vitalitas palsu untuk membangun Papua dengan menjadikan
manusianya sebagai objek bukan subjek. Sehingga kita tidak perlu heran ketika
banyak Manusia Papua termasuk penulis sendiri yang menjadi penonton seni
politik kotor yang dipentaskan di atas tanah Papua oleh Indonesia atas
permintaan kaum kapitalis dan setan-setan global.
Kegagalan dalam menghadapi Papua dengan tidak menemukan
solusi absolut (pasti) dan manusiawi merupakan muarah lahirnya gagasan-gagasan
macet dalam benak Indonesia dengan melihat potensi kekayaan alam Papua. Salah
satu kebijakan sebagai solusi yang macet adalah otsus. Papua direncanakan dalam
pembangunan daerah otonom yang direalisasikan secara hukum dalam Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2001 kemudian dimodifikasi dengan Perpu Nomor.1 Tahun 2008, yang
terdiri 79 pasal dalam pengaturan kewenangan Provinsi Papua untuk menjalankannya.
Tujuan yang dirumuskan adalah untuk pembangunan dari segala aspek kehidupan dan
kemajuan sumber daya manusia Papua yang berkualitas dan sejahtera. Tetapi pada
penerapanya banyak sekali kejahatan yang dibungkus dengan kebaikan semata,
sehingga 24 tahun usia otsus (otonomi khusus) tidak memberikan dampak yang
signifikan dalam pembangunan dan kemajuan di tanah Papua. Kami Manusia Papua
yang sadar melihat kehadiran Indonesia di tanah Papua adalah indikasi
kehancuran yang ditandai dengan pergeseran budaya, nilai, adat, ideologi yang
tiba pada titik pemusnahan ras. Kami kaum intelektual Papua mengatakan bahwa
kehadiran otsus dan kebijakan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan
Manusia Papua sudah gagal total apalagi dengan pendekatan militeristik. Hal ini
kami dapat saksikan dari waktu ke waktu, sehingga penulis mengatakan Papua
adalah salah satu wilayah dengan pabrik produksi konflik terbesar di dunia.
Setiap kebijakan Indonesia yang datang dari pusat atau Jakarta hadir sebagai
masalah baru yang dibungkus dengan retorika politik, demokrasi kepentingan
pihak Indonesia dengan komunikasi persuasif yang menghancurkan ketegasan dan
prinsip Manusia Papua pada nilai pengawasan alam, budaya, sosial, dan nilai
material dan immaterial.
Konsep membangun manusia Papua ini diarahkan kepada
jalur-jalur formal milik pemerintah Indonesia yang sudah didesain secara
sistematis dan terukur kemudian dilandasi dengan hukum yang tidak boleh
diganggu gugat oleh Manusia Papua. Jika hukum yang sudah ditegakan tersebut dibantah,
maka saat itulah hukum akan dijatuhkan kepada Manusia. Kebijakan psikologis
Indonesia untuk Manusia Papua adalah diberikanya pendidikan formal yang namanya
adalah Instruksi Presiden, disingkat SD Inpres, SMP Negeri, SMA Negeri, dan
perguruan tinggi yang berbasis Negeri. Manusia Papua yang tidak tahu apa-apa
tidak menyadari keberadaan roh jahat yang menghidupi sistem pendidikan ini dari
waktu-ke waktu sampai saat ini, dan saya pun salah satu korban pendidikan
tersebut. Definisi pentingnya pendidikan untuk Manusia Papua dalam konteks
Indonesia adalah menghafal Pancasila, lagu-lagu nasional Indonesia, UUD 45,
sumpah pemuda, belajar bahasa Indonesia, dan menanamkan budaya Indonesia
(melayu). Sedangkan pengetahuan sains tidak diajarkan dengan cara yang baik dan
tidak regular. Bagian ini adalah indikasi pendidikan yang menyimpan dari tujuan
dan harapan sebenarnya dari konsep pentingnya pendidikan secara global. Tenaga
kependidikan dan guru yang datang ke Papua itu datang karena mendengar
tingginya nada uang di Papua dan tidak mengabdi dengan totalitas pengetahuan
dan moral. Karena prinsip hidup yang mereka rangkai dalam pikiran dan hati
adalah mengabdi untuk negara sementara pengabdian masyarakat dapat dilakukan
sebagai aspek formalitas jika sewaktu-waktu ada perintah dari dinas terkait.
Sejarah pendidikan Manusia Papua pada jaman Belanda sangat
berbeda setelah Integrasi dan dominasi Papua secara aneksasi ke Indonesia.
Belanda memberikan ruang gerak demokrasi yang manusiawi untuk Manusia Papua
dalam berekspresi dan memberikan pendidikan yang sungguh sehat, sejahtera,
kontekstual, mengedepankan hak asasi Manusia Papua dan melestarikan budaya dan
nilai adat bahkan mengakui kemerdekaan West Papua pada waktu itu. Tetapi
pendekatan yang kejam telah dirancang oleh Indonesia untuk mencuri kedaulatan
dan kebebasan Manusia Papua melalui pendekatan TRIKORA 1961-1962 dan PEPERA
1969.
Manusia Papua dilahirkan diatas tanah Papua bertumbuh, hidup
dan mati juga untuk tanah Papua. Manusia Papua itu keluar dari kandungan Ibu
segera setelah sembilan bulan untuk merasakan dan menerima kehidupan di luar.
Dia bertumbuh dan besar dalam sistem ini, menerima pendidikan orang tua,
menerima pendidikan formal, dorongan lingkungan, agama dan menerima segala
bentuk hal yang sampai pada penemuan jati diri. Proses alamiah ini sudah
berlangsung sejak dulu sampai saat ini dengan berbagai tekanan kehidupan dan
tuntutan zaman dalam bingkai sistem aneksasi. Berbagai macam tekanan sudah dan
akan dialami setelah Manusia Papua itu bertumbuh dewasa dengan ideologi yang
murni dalam menyuarakan kebenaran mutlak, hak-hak asasi Manusia, upaya
membatasi kapitalisme yang mencari kepentingan dalam pendekatan organisasi
pemerintahan yang legal dan ilegal. Manusia Papua dibohongi dan dibunuh dengan
perdagangan hukum yang berujung pada sasaran eksploitasi dan deforestasi.
Tetapi ketika Manusia Papua bersuara dan berani berdiri pada prinsip kebenaran
untuk menyuarakan hak-hak Manusia Papua, maka suara kebenaran itu akan
dibungkam dengan membatasi ruang demokrasi dengan alasan-alasan sintesis dan
dominan tidak masuk akal, sehingga kami akan dilenyapkan oleh Indonesia dengan
berbagai bentuk ancaman dan pembunuhan. Maka dengan itu, bahasa yang cocok dan
situasional untuk menggambarkan kekejaman Indonesia terhadap Manusia Papua
adalah “Manusia Papua Umur Pendek Dalam Bingkai NKRI”. Untuk mengetahui alasan
dari segala alasan tentang pemilihan kata ini, Anda sebagai kaum Intelektual
Papua harus membaca dua buah buku ini (1. PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA. Oleh: Socratez Sofyan Yoman. Dalam pengantar Pdt.
Dr. Benny Giay.Dr, George J.Aditjondro), (2. SEAKAN KITORANG SETENGAH
BINATANG. Oleh: Filep Karma). Masih
banyak buku-buku tentang Manusia Papua yang bisa dieksplorasi, (penulis tidak
sombong!).
Perjuangan yang dilakukan oleh Manusia Papua yang pasif dan
aktif melalui ranah demokrasi, pendidikan, politik hanya dijamin semata oleh
hukum Indonesia apalagi yang dianggap sebagai organisasi separatis yang ada di
hutan. Suara-suara kebenaran Manusia Papua yang mutlak dan murni ini dianggap
sebagai pelampiasan nafsu semata dan dinilai sangat spekulatif dan tidak
berbobot selama Manusia Papua memiliki pikiran dan ide yang bertolak belakang
terhadap nasionalisme Indonesia. Sehingga kita tidak perlu heran dan kaget
dengan kematian Manusia Papua yang berlangsung dari masa ke masa seperti (Theys
Hiyo Eluay) dibunuh pada 10 November 2001, (Filep Karma) pada 1 November 2022).
Mereka ini adalah pejuang-pejuang aktif yang meninggal dunia dan diketahui
banyak orang karena tubuh demokratisnya yang sering menonjol di ruang-ruang
publik. Sementara itu banyak sekali pembunuhan rasial yang dilakukan oleh
Indonesia terhadap Manusia Papua dari masa ke masa yang tidak diketahui berapa
angkanya baik masyarakat sipil dan juga yang bekerja di instansi pemerintahan
birokrasi dan administrasi. Pertanyaanya adalah “apakah kematian Manusia Papua
yang berdiri atas prinsip kebenaran dikehendaki Tuhan?”. Jawaban singkat dan
sederhana yang terlahir dari refleksi mendalam adalah “TIDAK”, mereka masih
bisa hidup sampai saat ini, tetapi nyawa mereka melayang karena sistem
Indonesia yang jahat ini. Jika kita melihat lebih jauh dalam pandangan
spiritualitas agama, Manusia Papua yang dilahirkan sudah dibekali dengan tujuan
dan karisma yang mulia untuk membangun dan berdampak bagi Masyarakat Papua itu
sendiri.
Motivasi hidup dan makna hakiki yang
dapat dipetik dari peristiwa sejarah Manusia Papua dalam perjuanganya yang
berakhir dengan kematian tragis ini adalah kami tetap optimis dan berjuang
selama kebenaran itu disikapi dengan kepentingan dan kesejahteraan Manusia
Papua itu sendiri. Walaupun keraguan untuk hidup dan merasakan sistem
pemerintahan Indonesia terkadang memberikan perasaan-perasaan ambigu yang
mengancam gagasan masa depan. Penulis sebagai kaum intelektual dan Manusia
sadar tidak mempersoalkan pembangunan sumber daya manusia dan pengelolaan
sumber daya alam Papua dengan pikiran yang sehat. Kami Manusia Papua sangat
berterimakasih kepada sahabat atau teman-teman dan pemangku kepentingan dalam
arti non Papua yang datang membangun Manusia Papua dari berbagai aspek
kehidupan dengan totalitas pengetahuan dan moralitas. Tuhan sang Maha Kuasa
yang akan membalas pengabdianmu pada tanah Papua. Tetapi kami Manusia Papua
akan tidak merasa nyaman ketika hak-hak hidup dan kekayaan alam kami
dieksploitasi dan deforestasi, budaya kami dipangkas, marjinalisasi yang
terjadi dari waktu ke waktu, penerapan sistem pendidikan yang tidak kontekstual
dan sesuai harapan masyarakat, pembunuhan rasial yang terjadi, membatasi
ruang-ruang demokrasi ketika suara kebenaran dinyanyikan, dan aneksasi
nasionalisme. Penulis merangkai sebuah analogi untuk menggambarkan ketidak
nyamanan kami Manusia Papua adalah “seekor
hewan apapun itu akan merasa terganggu ketika habitatnya dihancurkan sehingga
pada akhirnya hewan tersebut akan menghindar mencari habitat baru yang dianggap
aman dan nyaman untuk melindungi diri. Tetapi hewan sejenis buas dengan besar
kemungkinan akan marah dan menyerang si pengganggu itu”. Oleh karena itu,
kami Manusia Papua tidak akan pernah tenang dan damai ketika rumah tempat kami
berlindung dihancurkan dan isi rumahnya pun dicuri.
Manusia Papua punya kesadaran yang
timbul dari realitas kehidupan bahwa terdapat pikiran-pikiran macet yang
dilandasi dengan aturan hukum pemerintah dengan pendekatan pemanfaatan sosial,
budaya, agama dan pendidikan. Sehingga pembangunan dan kesejahteraan tidak
didasarkan pada panduan konseptual pada konteks dan kajian ilmiah yang
mendalam. Oleh karena itu virus malas berpikir sudah lama ditularkan oleh Indonesia
kepada Manusia Papua dan dapat bertumbuh sampai saat ini dalam watak
pemimpin-pemimpin Orang Asli Papua (OAP), sehingga pada akhirnya selalu
mengambil jalan pintas yang merugikan orang lain. Praktik merugikan orang lain
lahir dari sistem yang ada saat ini yang kemudian melahirkan paradigm yang
tidak sehat untuk Manusia Papua itu sendiri. Paradigma tidak sehat ini ditandai
dengan kebencian, iri hati, sombong, korupsi, mencuri, egosentrisme, nepotisme,
sukuisme, kolusi, dan berbagai masalah lainnya yang menyebabkan konflik antara
orang Papua dengan Papua sendiri yang berakhir dengan saling membunuh.
Sederhananya sistem ini sudah salah dari dulu dari berbagai aspek kehidupan
apapun untuk Manusia Papua. Tetapi Manusia Papua menerima dan menyikapi sistem ini
dengan pikiran positif dan optimis, dan menjalankan sistema ini dalam kehidupan
sehari melalui pendidikan formal, nonformal dan sering menjumpai
nasehat-nasehat hidup dari kaum yang menjalankan ajaran Agama dan tua-tua adat
sehingga itu dimaknai sebagai panduan moralitas untuk merevisi diri dalam
menata gagasan masa depan Papua. Oleh karena itu, Manusia Papua yang baru lahir
diatas tanah Papua dan bertumbuh menjadi dewasa, ia akan mencari kebebasan,
kedamaian dan kebahagian dalam hidupnya dengan berbagai macam cara untuk
memperbaiki sistem, walaupun ia tahu bahwa sistem ini akan membunuhnya,
(paradoks).
Mengapa penulis menulis seperti ini, mengapa gagasan seperti
ini lahir di kepala penulis, dan mengapa gagasan ini harus keluar dari kepala
penulis dalam bentuk tulisan sehingga diketahui bersama dan lebih khusus kepada
Kaum Intelektual Papua (KIP). Penulis merasa gagasan ini penting untuk
dihidupkan supaya menjadi panduan dalam melihat sejarah peradaban Manusia Papua
dan menata masa depan Papua. Harapannya supaya terdapat dialektika intelektual
yang dibangun oleh Manusia Papua yang tiba pada kesimpulan bahwa alam Papua
butuh pemimpin orang asli Papua (OAP) yang berakal sehat, berhikmat, dan
berintegritas untuk melakukan upaya pembangunan kesejahteraan Manusia Papua
dengan totalitas budi pekerti, pengetahuan dan moralitas. Jika penulis
menghayal bahwa (Bapak Prabowo), dapat membaca tulisan ini, pasti penulis akan
diselidiki karena gagasan, konsep, dan arah tulisan ini membantah kehadiran
Indonesia di Papua. Penulis tidak takut sedikitpun untuk hal itu karena Penulis
tahu bahwa tulisan ini adalah suara kebenaran yang harus disampaikan kepada
semua lapisan Indonesia untuk melakukan koreksi dan refleksi yang mendalam
tentang Papua. Indonesia adalah negara
demokrasi dan hukum. Pikiran dan gagasan dalam tulisan ini merupakan hak
intelektual dan itu dijamin dalam Kitab Undang-Undang Perdata (KUHPer) pasal
499 dan pasal 503 tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yakni yang berwujud
dan tidak tidak berwujud. Artinya penulis menulis seperti ini dengan dasar
hukum. Lepas dari itu menulis seperti ini adalah pekerjaan dan pembelajaran
penulis untuk selalu belajar dan melakukan proses perjalanan panjang dalam diri
untuk melampaui batas baik dan buruk, memperbaiki sikap, memperbaiki mental,
emosi, dan memperkaya diri dengan pengetahuan mental dan pengalaman konkret.
Semoga tulisan dan pemikiran ini bermanfaat, salam hormat dan salam literasi.
Pemikir
Akar Rumput, 17 November 2023
Komentar