“FILOSOFI HIDUP ORANG LANI TANAH ADALAH KEHIDUPAN KAMI
Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA.
“FILOSOFI HIDUP ORANG LANI TANAH ADALAH KEHIDUPAN
KAMI. Tanah sebagai kekayaan dan warisan sangat berharga dalam hidup orang
Lani. Tanah sebagai sumber hidup orang Lani. Tanah sebagai Mama orang Lani.
Tanah sebagai roh orang Lani. Tanah sebagai investasi dan modal hidup anak dan
cucu Orang Lani. Karena itu, tidak ada alasan untuk jual tanah atau serahkan
tanah kepada siapapun, alasan apapun dan kepentingan apapun.” (Ndumma Socratez
S.Yoman, Ita Wakhu Purom, 13 Mei 2019).
Menjual tanah berarti kita menyerahkan dan
mengantungkan hidup kita di tangan orang-orang pendatang. Menjual tanah betarti
kita menanam kemiskinan dan kemelaratan seumur hidup. Menjual tanah berarti
kita menghancurkan masa depan anak dan cucu kami. Menjual tanah berarti kita
membunuh masa depan anak dan cucu kami.
Setelah ada pernyataan iman dari Uskup Keuskupan
Timika alm. Mgr. John Philipus Saklil, Pr, kita semua disadarkan dari
ketidaksadaran dan dari kenyamanan dan kemapanan semua dan zona nyaman yang
hampa.
Alm. Uskup John pernah menyatakan: “Rakyat Papua
bisa hidup tanpa uang, tapi mereka tidak bisa hidup tanpa tanah.”
Pada 1 September 2018, kita disadarkan kembali oleh
alm. Uskup Saklil, bahwa ia menolak dengan tegas program transmigrasi di Papua,
termasuk di Kabupaten Mimika dengan alasan apapun, termasuk kepentingan
pemekaran.
“Untuk apa program itu ada kalau hanya menggusur
masyarakat lokal? Karena itu, pada prinsipnya Gereja tidak setuju dengan
program transmigrasi bukan hanya di Mimika, tapi juga di seluruh Tanah Papua.”
Uskup lebih jauh menegaskan: “Aneh sekali kalau
program transmigrasi dianggap sebagai solusi. Justru itu yang menyebabkan
kerusakan sumber kehidupan masyrakat lokal. Dusun-dusun masyarakat lokal
habis.”
Ia memperkuat dan mendukung pernyataan gubernur
Papua. ” Gubernur juga tidak setuju, karena masuknya transmigrasi itu, maka
warga lokal akan semakin tersisih dan menjadi kaum minoritas di tanahnya
sendiri. Transmigrasi ini juga akan menimbulkan konflik karena timbul
kecemburuan sosial. Transmigrasi tidak bisa menjawab persoalan itu.”
Alm.Uskup Saklil sebagai wajah TUHAN yang nyata
telah menghadirkan Kerajaan Allah di bumi nyata. Mantan Uskup Timika ini
hadirkan Injil di bumi Papua. “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di
bumi seperti di sorga” (Matius 6:10).
Alm. Uskup Saklil menjadi suara dan wajah Tuhan yang
nyata di bumi Papua. “Bukalah mulutmu untuk orang yang bisu, untuk hak semua
orang yang merana. Bukalah mulutmu, ambillah keputusan secara adil dan
berikanlah kepada yang tertindas dan yang miskin hak mereka” (Amsal 31:8-9).
Mengapa Uskup berdiri untuk umat Tuhan di West Papua
sebagai kepanjangan tangan Tuhan Yesus? Karena, “…air mata orang-orang
tertindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena dipihak orang-orang yang
menindas ada kekuasaan” (Pengkhitbah 4:1).
“Kalau engkau melihat dalam suatu daerah orang
miskin ditindas dan hukum serta keadilan diperkosa, janganlah heran akan
perkara itu, karena pejabat yang satu mengawasi yang lain, begitu pula
pejabat-pejabat yang lebih tinggi mengawasi mereka” (Pengkhotbah 5:7).
Kongres Gereja Baptis Papua melarang menjual Tanah
Salah satu keputusan Kongres ke-18 Gereja Baptis Papua pada 11-14 Desember 2017
di Wamena ialah dilarang menjual tanah di wilayah pelayanan Baptis, terutama di
kabupaten Lanny Jaya. Karena sebelum ada kabupaten Lanny Jaya, wilayah ini
sejak 28 Oktober 1956 adalah milik Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Siapapun dan dengan alasan apapun, Tanah di wilayah
Baptis di Kabupaten Lanny Jaya tidak ada yang dijual. Semua aset, terutama
tanah yang digunakan pemerintah/aparat keamanan akan direnegosiasi
(dibicarakan) ulang. Tanah tidak akan dijual tapi disewa dan dikontrak.
Sikap Uskup Timika dan Persekutuan Gereja-gereja
Baptis Papua dalam upaya menegakkan apa yang disampaikan oleh TUHAN Allah
kepada Manusia pertama, Adam, “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan
menempatkan dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu”
(Kejadian 2:15).
Dalam perintah TUHAN sangat jelas, yaitu taman Eden
Papua ini bukan untuk dijual, bukan untuk Transmigrasi, bukan untuk bangun
basis TNI/Polri dan bangunan lain-lain. Taman Eden di Papua diberikan TUHAN
kepada Orang Asli West Papua untuk USAHAKAN dan MEMELIHARA.
TUHAN memberikan kuasa, mandat dan tanggungjawab
kepada kita supaya memelihara & mengusahakan: bangun rumah, buat kebun,
buat kandang ternak babi, dll.
Kutuk, malapetaka, murka dari TUHAN Allah
turun-temurun kepada orang-orang yang melanggar Firman TUHAN & dan jual
Tanah.
Karena bagi orang yang menjual Tanah adalah orang
yang tidak berhikmat dan tidak berakal budi. Orang yang menjual Tanah adalah
orang tidak berilmu dan bodoh. Orang yang menjual Tanah adalah yang menciptakan
kemiskinan pemanen untuk anak dan cucunya.
Orang menjual Tanah adalah orang yang menjadikan
anak dan cucunya menjadi budak-budak dan pengemis abadi di atas tanah leluhur
mereka. Orang yang menjual Tanah adalah orang yang tidak menghormati TUHAN dan
leluhur/nenek moyangnya.
Orang yang menjual tanah mengantungkan hidup dan
harapan semu/sia-sia kepada orang-orang pendatang. Orang yang menjual tanah
adalah orang-orang yang menjual tulang belulang leluhur dan nenek moyangnya.
Terkutuklah mereka yang menjual tanah.
Tanah adalah mama/ibu kita. Tanah adalah hidup kita.
Tanah adalah kekayaan sangat berharga bagi anak dan cucu kita. Tanah adalah
investasi dan tabungan dan kekayaan masa depan anak dan cucu kita.
Dengan dasar ini, saya berkampanye: TANAH JANGAN
DIJUAL ATAU DILARANG JUAL TANAH.”
TUHAN Allah menugaskan kepada Adam dan Hawa dan kita
semua sekarang supaya Taman Eden Papua ini diusahakan dan dipelihara bukan
untuk dijual dan diserahkan kepada orang-orang pendatang.
“TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkan
dalam taman Eden (Tanah Papua) untuk mengusahakan dan memelihara taman itu
(taman Papua)” (Kejadian 2:15).
Penulis: Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan
Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).
Ita Wakhu Purom, Kamis, 27 Februari 2020
Komentar